Hujan menggigil, persis seperti hatiku saat pertama kali melihatnya lagi. Lima tahun. Lima tahun bayangan pengkhianatannya menghantuiku, dan sekarang, dia berdiri di depanku, di tepi Danau Patah Hati, tempat kami dulu berjanji setia di bawah langit berbintang.
Rongge, nama itu masih terasa pahit di lidahku. Dulu, dia adalah matahariku. Sekarang, dia hanyalah bayangan dari masa lalu yang kurusut.
"Lama tidak bertemu, Lian Hua," sapanya, suaranya serak, nyaris tertelan gemericik hujan.
Aku hanya mengangguk, enggan menatap mata cokelat madunya yang dulu selalu membuatku luluh. Setiap sentuhan Rongge dulu adalah penghangat, sekarang terasa seperti pisau yang mengiris luka lama.
Kami duduk di bangku kayu tua yang lembap. Cahaya lentera di dekat kami nyaris padam, berkedip-kedip seolah ikut merasakan kepedihan yang menyelimuti kami. Hujan semakin deras, membasahi wajah kami yang pucat.
"Aku… aku minta maaf," bisiknya, kepalanya tertunduk.
Maaf? Kata itu terlambat Rongge. Lima tahun lalu, saat aku menemukannya bersama wanita lain, di ranjang kami sendiri, maafmu tak ada artinya. Kata-kata maafmu adalah KEBOHONGAN.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan," balasku dingin, berusaha menyembunyikan gemetar di suaraku. Padahal, di dalam hatiku, badai amarah mengamuk dahsyat.
Keheningan kembali menyelimuti kami. Hanya suara hujan yang menemani. Aku memperhatikan Rongge. Wajahnya keriput, matanya sayu, penuh penyesalan. Dia terlihat sangat berbeda dari Rongge yang kucintai dulu. Apakah penyesalan benar-benar bisa mengubah seseorang?
"Kau tahu, Lian Hua, aku…" Dia berhenti, ragu melanjutkan kalimatnya.
"Kau?"
Dia menghela napas panjang. "Aku tidak pernah berhenti mencintaimu."
Kata-kata itu seperti racun yang mengalir ke seluruh tubuhku. Cinta? Dia masih berani menyebut kata itu? Setelah apa yang dia lakukan?
Aku tersenyum sinis. "Benarkah? Kalau begitu, kau pasti akan terkejut mengetahui apa yang akan kulakukan selanjutnya."
Aku berdiri, menatapnya lurus ke mata. Cahaya lentera yang nyaris padam itu seolah menyorot wajahku yang dipenuhi kebencian dan tekad.
"Kau tahu, Rongge, Danau Patah Hati ini menyimpan banyak rahasia. Salah satunya adalah, aku yang selama ini merencanakan kehancuranmu."
Aku berbalik, melangkah menjauhi Rongge yang membeku di tempatnya. Hujan semakin deras, menyamarkan air mata yang akhirnya lolos dari mataku.
Dan saat itulah, aku merasakan gemuruh di dalam dadaku, bukan hanya karena sakit hati, tapi juga karena kekuatan.
"Kau tahu Rongge, anak yang dikandung wanita itu lima tahun lalu, sebenarnya anakmu."
You Might Also Like: Skincare Pencerah Wajah Tanpa Iritasi
0 Comments: