Kau Mencium Tanganku, Tapi Dinginnya Tak Pernah Hilang
Hujan kota Seoul mengguyur kaca jendela apartemenku, persis seperti tetesan air mata yang enggan jatuh. Notifikasi ponselku berkedip, lagi-lagi dari grup kerja. Bukan pesanmu. Dulu, notifikasimu adalah simfoni di hatiku, kini hanya nada sumbang yang menusuk sunyi.
Kau, Kim Taeyong.
Aroma kopi yang kubuat pagi ini gagal menghadirkan kehangatan. Aroma itu justru menguapkan kenangan tentang kafe kecil di Hongdae, tempat jarimu menyentuh jemariku untuk pertama kalinya. Sebuah sentuhan singkat, namun meninggalkan jejak membara. Jejak yang kini terasa sedingin es.
Dulu, aku percaya takdir dituliskan di langit Seoul. Sekarang, aku hanya melihat algoritma kencan online dan profil-profil yang terasa hampa. Kau tahu, Taeyong? Aku masih menyimpan sisa chat kita. Untaian kata-kata manis yang tak pernah terkirim, terperangkap dalam draft. Seperti perasaan yang kubendung mati-matian.
"Aku merindukanmu," itu yang ingin kutulis. Tapi jari-jariku membeku di atas keyboard. Kebohongan yang terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
Kau mencium tanganku di malam perpisahan kita. Di bawah temaram lampu jalan yang berkedip, bibirmu terasa panas, tapi hatiku merasakan KEDINGINAN yang abadi. Itu adalah ciuman perpisahan yang terasa seperti kutukan.
Aku tidak mengerti. Mengapa kau menghilang begitu saja? Mengapa kau meninggalkanku tanpa sepatah kata pun?
Berbulan-bulan kulewati dalam kebingungan. Sampai akhirnya, sebuah pesan anonim masuk ke ponselku. Sebuah foto.
Kau dan seorang wanita, berpegangan tangan di bandara. Tujuannya? New York. Bersama label harga pada kebohonganmu: penyakit ibumu. Sebuah kebohongan yang membuatku merasa bodoh.
Lalu, semuanya menjadi jelas. Kau tidak pernah benar-benar mencintaiku. Kau hanya memanfaatkan aku, perusahaanku, koneksiku.
Waktunya membalas dendam.
Aku menggunakan setiap sen yang kumiliki untuk menjatuhkan bisnismu di Seoul. Aku memastikan setiap relasimu hancur berkeping-keping. Aku menjadi malaikat maut dalam mimpimu.
Suatu malam, aku melihatmu di jalan. Wajahmu tirus, matamu cekung. Kau tampak seperti bayangan dirimu sendiri. Kau memohon padaku untuk menghentikannya.
Aku hanya tersenyum.
Aku mengirimkan pesan terakhir.
"Maafkan aku, Taeyong. Aku harus memilih kebahagiaanku sendiri."
Aku memblokir nomormu.
Aku terbang ke Paris, memulai hidup baru. Di sebuah kafe di Montmartre, aku memandang Menara Eiffel yang berkilauan. Aku memesan kopi dan tersenyum tipis.
Dan kemudian aku menghilang.
... Semua orang tahu bahwa memori akan memudar. Tapi rasa sakitnya? Rasanya tidak pernah hilang sepenuhnya.
You Might Also Like: Full Drama Bayangan Yang Menulis Namamu
0 Comments: