Pelukan yang Menyisakan Bekas Luka
Angin malam membisikkan kenangan pahit di telinga Mei Hua. Istana yang megah berdiri di hadapannya, saksi bisu pengkhianatan dan air mata. Dulu, di tempat inilah, ia – seorang gadis polos penuh cinta – menyerahkan hatinya kepada Kaisar, dibutakan oleh janji kekuasaan dan kasih abadi. Kini, yang tersisa hanyalah bekas luka yang tak terhapuskan, terukir dalam jiwanya oleh pelukan yang terasa hangat namun membakar.
Mei Hua, bak bunga lotus yang tumbuh di lumpur, tidak layu. Ia memang patah, namun akarnya semakin dalam, menyerap kekuatan dari setiap tetes air mata. Masa lalu telah merenggut segalanya: cinta, kepercayaan, bahkan nama baik keluarganya. Kaisar, dengan senyum manis dan lidah setajam pedang, telah menjebaknya dalam intrik politik yang kejam, menjadikannya pion dalam permainannya sebelum akhirnya membuangnya.
Kini, ia kembali. Bukan sebagai Mei Hua yang lemah, melainkan sebagai Jenderal Zhao, seorang pemimpin militer yang disegani, dingin, dan berbahaya. Rambutnya disanggul tinggi, menyembunyikan bekas air mata di pipinya. Jubah besinya melindungi hati yang pernah hancur, namun di baliknya, bara dendam menyala TENANG.
Setiap langkahnya di istana dipenuhi aroma pengkhianatan. Para selir memandangnya dengan tatapan waspada, para pejabat membungkuk hormat, dan Kaisar – yang kini berkerut dan rapuh – memandangnya dengan campuran ketakutan dan kekaguman.
"Jenderal Zhao," sapanya dengan suara bergetar. "Anda telah mengabdi dengan gagah berani."
Mei Hua hanya tersenyum tipis. "Kebahagiaan saya adalah melayani Yang Mulia." Senyum itu tidak mencapai matanya, mata yang kini sedalam jurang, menyimpan rahasia kelam dan rencana yang matang.
Balas dendam Mei Hua bukan berupa teriakan amarah atau pertumpahan darah yang sia-sia. Ia merajutnya dengan kesabaran seorang penenun, menggunakan kekuasaan dan pengaruh yang dimilikinya untuk perlahan-lahan mengikis kekuasaan Kaisar. Ia membongkar korupsi, mengungkap konspirasi, dan menyingkirkan para pendukung setia Kaisar satu per satu. Semuanya dilakukan dengan elegan dan efisien, seperti tarian kematian.
Ia bahkan mendekati permaisuri, wanita yang dahulu menjadi rivalnya. Mei Hua melihat dalam diri permaisuri seorang wanita yang juga terluka oleh kekuasaan Kaisar. Ia menawarkannya bukan persahabatan, tapi aliansi. Bersama, mereka menari di atas bara api intrik, mengendalikan bidak-bidak catur di papan permainan yang kompleks.
Pada akhirnya, Kaisar terpojok. Kerajaannya runtuh di sekelilingnya, sementara Mei Hua berdiri tegak di hadapannya, tidak bergeming. Ia tidak menuntut nyawanya. Ia hanya menginginkan satu hal: Kaisar mengakui kejahatannya, mengakui bahwa ia telah menghancurkan Mei Hua yang dulu.
Kaisar, dengan napas tersengal, akhirnya mengakui. Pengakuan itu lebih menyakitkan daripada kematian.
Mei Hua berbalik, meninggalkan istana yang telah menjadi makam baginya dan Kaisar. Ia berjalan menuju masa depan yang ia ciptakan sendiri, masa depan di mana ia adalah ratu bagi dirinya sendiri.
Angin malam membisikkan pujian di telinganya, bukan lagi ratapan. Ia telah bangkit dari abu, lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih menakutkan dari sebelumnya.
Dan kini, setelah seluruh kerajaan berlutut di hadapannya, ia tahu, akhirnya, dia bisa memberikan dirinya sendiri izin untuk mencintai, sekali lagi.
You Might Also Like: Harus Baca Pelukan Yang Mengantar Ke
0 Comments: