Aku Mencintaimu Bahkan Ketika Waktu Menolak Mengulang
Kabut lavender menyelimuti Danau Bulan Sabit, serupa lukisan mimpi yang ditinggalkan dewa. Di sana, di antara gerimis perak dan bayang-bayang pepohonan willow, aku pertama kali melihatnya. Bukan dengan mata, tapi dengan jiwa.
Gaunnya seperti serpihan bintang jatuh, rambutnya bagai sutra malam yang terurai. Dia tersenyum, dan dunia membeku. Waktu berhenti bernapas. Hanya ada aku, dia, dan keabadian yang semu.
Aku mendekat, melangkah di atas permadani embun. Tanganku terulur, ragu menyentuh sosok hantu yang begitu nyata. "Siapa kau?" bisikku, suaraku tenggelam dalam simfoni alam.
"Aku… masa lalu yang kau lupakan," jawabnya, suaranya bagai melodi kecapi yang merdu sekaligus menyayat hati.
Hari-hari berikutnya adalah tarian di antara dimensi. Kami menjelajahi taman-taman terlarang, mengarungi sungai-sungai mimpi, dan menari di bawah hujan meteor. Dia adalah ECHO dari kenangan yang hilang, aroma dari bunga yang tak pernah ada, sentuhan dari angin yang tak bisa dirasakan.
Cintaku padanya tumbuh, menjalar seperti sulur mawar di reruntuhan kastil tua. Aku mencintainya, melebihi batas akal dan logika. Aku mencintai keberadaannya yang absurd, ketidakmungkinannya yang indah.
Tapi ada yang aneh. Setiap kali aku mencoba menyentuhnya, tanganku menembus udara. Setiap kali aku mencoba berbicara tentang masa depannya, matanya memudar menjadi kabut.
Kemudian, suatu malam, saat bulan purnama menari di atas Danau Bulan Sabit, dia berkata, "Aku harus pergi."
Hatiku hancur berkeping-keping, seolah dijatuhkan dari puncak gunung es. "Kemana? Kenapa?"
Dia tersenyum sedih, senyum yang lebih pahit dari empedu. "Aku adalah lukisan yang kau ciptakan sendiri. Aku adalah mimpi yang kau paksa untuk terus hidup. Aku adalah… ilusi."
Dia lalu menunjuk ke sebuah kanvas besar yang tersembunyi di balik pepohonan willow. Di sana, terpampang sebuah lukisan dirinya. Lukisan yang persis sama dengan dirinya yang berdiri di hadapanku.
Di bawah lukisan itu, tertulis: "Untuk kekasihku yang hilang, selamanya terpenjara dalam waktu."
Air mataku mengalir deras. Aku ingat sekarang. Dia adalah kekasihku, yang meninggal dunia dalam kecelakaan tragis bertahun-tahun lalu. Aku tidak bisa menerima kepergiannya, sehingga aku menciptakan dunia mimpi, dunia di mana dia selalu bersamaku.
Keindahan cinta kami, kenyataan bahwa dia nyata bagiku selama ini, semuanya palsu. Semua ilusi dari hati yang terluka.
Dia mendekat, mengusap air mataku. "Jangan bersedih," bisiknya. "Aku akan selalu bersamamu… di dalam hatimu."
Lalu, dia menghilang, lenyap seperti kabut pagi yang disapu mentari. Lukisan itu tetap di sana, saksi bisu cinta yang terlarang.
Aku tersungkur di tanah, memeluk lukisan itu erat-erat. Misteri terpecahkan, tapi keindahannya justru membuat luka makin dalam. Kenyataan pahit itu menikam jantungku, membunuh harapan terakhirku.
Apakah kau ingat saat pertama kali kita bertemu?
You Might Also Like: 15 Perbedaan Sunscreen Mineral Lokal
0 Comments: