Lorong Istana yang Sunyi
Kabut tipis merayap di antara pilar-pilar giok istana. Sunyi. Hening yang mencekam, hanya dipecah oleh gemerisik sutra jubahku saat melangkah. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun lamanya aku dianggap mati, tenggelam di danau terlarang. Namun, di sini aku berdiri, kembali.
Di ujung lorong, sosoknya menanti. Bai Lianhua, cinta sekaligus kutukanku. Wajahnya sama cantiknya seperti dulu, hanya kerut halus di sudut mata mengkhianati waktu yang berlalu.
"Lianhua," bisikku, suaraku serak bagai gesekan batu.
Dia menoleh, tatapannya dingin seperti es. "Kamu kembali, Mo Chen."
"Aku harus. Ada yang harus kuselesaikan."
Kami duduk berhadapan di paviliun teratai. Angin bertiup pelan, membawa aroma melati yang memabukkan.
"Kenapa kamu kembali?" tanyanya, nadanya datar.
"Karena aku mencintaimu. Bahkan setelah maut memisahkan." Kalimat itu pahit terasa di lidah.
"Cinta? Omong kosong!" Lianhua tertawa sinis. "Cintamu yang membawaku ke jurang kehancuran!"
Aku terdiam. "Danau itu... bukan kecelakaan."
Lianhua mengangguk, tanpa penyesalan. "Bukan. Aku mendorongmu. Kamu terlalu polos, Mo Chen. Terlalu percaya padaku."
Kilat amarah menyambar hatiku. "Mengapa?"
"Kekuasaan," jawabnya sederhana. "Kamu adalah pewaris tahta. Dan aku... menginginkannya."
Aku menatapnya, tak percaya. Wanita yang kucintai, wanita yang kurindukan selama sepuluh tahun ini, adalah dalang di balik segalanya.
"Kau berbohong," ujarku lemah.
"Aku tidak berbohong. Kamu yang tidak melihat. Kamu terlalu buta oleh cinta." Dia bangkit, berjalan ke arahku. "Aku menciptakan legenda tentang kematianmu. Aku yang menyebarkan desas-desus tentang hantu danau. Aku membangun fondasi kekuasaanku di atas air matamu."
Dia mendekat, wajahnya begitu dekat, namun terasa begitu jauh.
"Lianhua... mengapa?"
"Karena aku benci kelemahanmu. Kebajikanmu. Cinta butamu. Aku ingin kamu lenyap dari muka bumi ini!"
Dia mengangkat tangannya, sebuah belati perak berkilauan di bawah cahaya rembulan. Aku tidak melawan. Aku sudah mati sejak dulu. Mati karena cintanya.
"Kau tahu, Mo Chen," bisiknya di telingaku, "semua ini... adalah permainanku sejak awal."
Dia menusukku. Rasa sakitnya tajam, namun tak sepedih pengkhianatan.
Saat mataku mulai meredup, aku melihat senyum di bibirnya. Senyum seorang PEMENANG. Senyum seorang...
Dalang.
Dan di sanalah, di lorong istana yang sunyi, aku mengerti. Aku bukanlah korban. Aku adalah pion. Dan dia, Lianhua, adalah pemain catur yang ulung.
Dan semua yang dia katakan sebelumnya.... kebohongan. Dia mencintaiku. Itu adalah satu satunya kebenaran, tetapi cinta itu gelap, dan penuh obsesi yang membinasakan, dan tidak akan pernah melepaskanku... atau dirinya sendiri.
You Might Also Like: 0895403292432 Distributor Kosmetik_30
0 Comments: