Bayangan yang Tak Mau Mati Kabut menggantung tebal di Pegunungan Wuyi, menyelimuti puncak-puncak batu karang bagai hantu yang enggan pergi...

Kisah Populer: Bayangan Yang Tak Mau Mati Kisah Populer: Bayangan Yang Tak Mau Mati

Kisah Populer: Bayangan Yang Tak Mau Mati

Kisah Populer: Bayangan Yang Tak Mau Mati

Bayangan yang Tak Mau Mati

Kabut menggantung tebal di Pegunungan Wuyi, menyelimuti puncak-puncak batu karang bagai hantu yang enggan pergi. Di dalam lorong-lorong ISTANA kekaisaran yang dingin dan sunyi, obor-obor menari-nari, melemparkan bayangan panjang yang seolah hidup. Lim Jiayi, putri mahkota yang dianggap telah lama gugur dalam pemberontakan delapan tahun lalu, kembali.

Rambutnya tergerai panjang, hitam pekat menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Gaun sutra putih yang dikenakannya tampak lusuh, kontras dengan kemegahan lorong istana. Ia berdiri di hadapan Kaisar, pamannya sendiri, seorang pria paruh baya yang wajahnya menyimpan guratan kekhawatiran mendalam.

"Jiayi," bisik Kaisar, suaranya bergetar. "Apakah... benar ini dirimu?"

Jiayi mengangguk pelan. Matanya, sekelam malam tanpa bintang, menatap Kaisar tanpa gentar. "Paman, aku kembali. Untuk mencari jawaban."

"Jawaban? Tentang apa?" Kaisar berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Tentang malam itu. Malam pemberontakan. Malam dimana ayahku... dan diriku dikhianati." Nada suara Jiayi lembut, namun setiap kata bagai jarum yang menusuk.

Kaisar mengalihkan pandangan. "Itu adalah malam yang kelam. Pangeran Ying, ayahmu, memberontak. Aku tidak punya pilihan selain..."

"Selain membunuhnya?" Jiayi menyela, suaranya masih tenang. "Dan berpura-pura aku turut menjadi korban?"

Keheningan memenuhi lorong. Hanya suara obor yang berderak memecah kesunyian.

"Jiayi, kau salah paham!" Kaisar akhirnya berseru, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Aku melakukan ini untuk melindungimu! Pangeran Ying sudah gila dengan kekuasaan! Dia akan menghancurkan seluruh kekaisaran!"

Jiayi tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Melindungiku? Dengan membunuh ayahku dan membiarkanku hidup dalam pengasingan selama delapan tahun? Sungguh pengorbanan yang mulia, Paman."

Ia melangkah maju, mendekati Kaisar. "Tahukah Paman, selama delapan tahun itu, aku tidak hanya bersembunyi. Aku belajar. Aku mengamati. Aku merencanakan."

Ia berhenti tepat di depan Kaisar, mendongak menatapnya. "Paman lupa, darah Pangeran Ying mengalir dalam nadiku. Dan darah itu membawa ambisi yang sama. Kekuasaan."

Kaisar terhuyung mundur, wajahnya pucat pasi. Ia baru menyadari, ia telah salah menilai segalanya. Selama ini, ia mengira telah menyingkirkan ancaman, namun sesungguhnya, ia justru memeliharanya.

"Kau..." Kaisar tergagap, tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Jiayi mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada para prajurit yang sedari tadi bersembunyi di balik bayangan. Mereka keluar, mengepung Kaisar.

"Aku? Aku adalah bayangan yang tak mau mati. Bayangan dari Pangeran Ying. Bayangan dari kekuasaan. Dan sekarang, bayangan itu akan menelanmu." Jiayi membungkuk, memberikan hormat terakhir kepada pamannya, sebelum memberikan perintah yang akan mengubah sejarah kekaisaran.

Kata-kata terakhir yang terucap, dengan nada lirih namun dingin, menggema di seluruh lorong: "Aku selalu memegang kendali, Paman. Kau hanya pion dalam permainanku."

You Might Also Like: Agen Skincare Bisnis Rumahan Di

0 Comments: