Janji yang Kucium Sebagai Sumpah
Malam di Lembah Bulan Sabit terasa bagai abadi, dinginnya merayap menusuk tulang, seolah musim dingin telah bersemayam di jantung setiap insan. Di tengah hamparan salju yang luas, merah merona tercetak noda darah, kontras yang MENGGELISAHKAN, seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di sanalah, di kuil reyot yang berasap dupa pahit, terjalin kisah cinta dan benci, dendam dan pengorbanan, sebuah saga yang diukir di atas abu masa lalu.
Mei Lan, dengan gaun sutra putih yang ternoda, berdiri tegak, air mata membeku di pipinya. Di hadapannya, berdiri Li Wei, sosok yang dicintainya, sosok yang dibencinya, seorang pria yang matanya menyimpan badai masa lalu. Dupa cendana mengepul di antara mereka, membawa aroma janji yang dilanggar, sumpah yang dikhianati.
"Kau…kau membunuh ayahku," bisik Mei Lan, suaranya bergetar seperti dedaunan di musim gugur.
Li Wei tidak membantah. Ekspresinya datar, dingin, seperti permukaan danau beku. "Itu hutang darah yang harus dibayar. Ayahmu…memulai semua ini."
Kilatan amarah membakar mata Mei Lan. "Lalu, semua ciuman, semua janji…semuanya PALSU?"
Li Wei mendekat, rahangnya mengeras. "Tidak semuanya. Aku…mencintaimu, Mei Lan. Meskipun cinta ini ternoda oleh darah dan pengkhianatan."
Mei Lan tertawa getir. Tawa yang lebih menyayat hati daripada ratapan. "Cinta? Cintamu adalah racun! Cintamu adalah duri yang menusuk jantungku!"
Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, Mei Lan mencabut belati perak dari balik gaunnya. Cahaya bulan menari di atas bilah tajam itu. Li Wei tidak bergerak, membiarkan Mei Lan mendekat.
"Kau tahu, Li Wei," bisik Mei Lan, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Li Wei. "Aku selalu membayangkan momen ini. Momen ketika aku mengambil kembali apa yang menjadi hakku."
Dia menciumnya. Bukan ciuman cinta, bukan ciuman kerinduan. Melainkan ciuman SUMPAH. Ciuman dingin yang dipenuhi racun mematikan.
Li Wei terhuyung mundur, tangannya mencengkeram dadanya. Matanya membelalak, antara kaget dan penyesalan. Darah menetes dari sudut bibirnya, bercampur dengan salju.
"Kenapa…kenapa kau melakukan ini?" desisnya, suaranya melemah.
Mei Lan tersenyum. Senyum yang tidak mencapai matanya. "Karena balas dendam adalah hidangan yang paling nikmat disantap dingin."
Li Wei jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Mei Lan berjongkok di hadapannya, menatapnya dengan tatapan sedingin es.
"Aku akan membuatmu merasakan sakit yang sama seperti yang kurasakan. Aku akan membuatmu menyaksikan kehancuran segalanya yang kau cintai. Dan kemudian…barulah aku akan membiarkanmu mati."
Li Wei menatap Mei Lan dengan tatapan yang sulit diartikan – campuran antara cinta, benci, dan rasa bersalah yang mendalam.
"Aku…pantas mendapatkannya," bisiknya sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir.
Mei Lan berdiri, menatap jasad Li Wei yang tergeletak di atas salju. Air matanya kembali mengalir, namun kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena kehampaan. Dendamnya telah terbalas, namun hatinya tetap hancur.
Dia berbalik, meninggalkan kuil reyot itu, meninggalkan jasad Li Wei, meninggalkan semua kenangan yang pernah mereka bagi. Langkahnya mantap, namun jiwanya penuh luka.
Di kejauhan, serigala melolong, suara yang menggema di tengah keheningan malam. Mei Lan berhenti sejenak, merasakan angin dingin menerpa wajahnya.
Balas dendamnya telah usai, tetapi rohnya masih dipenuhi kutukan.
Darah di salju akan selalu menjadi saksi bisu bisikan hatinya.
Dan ketika dia menghilang di balik kabut, suara yang menggema dalam benaknya adalah… siapa yang akan mencintai seorang perempuan yang dipenuhi kutukan balas dendam abadi?
You Might Also Like: 0895403292432 Cari Skincare Aman Ini
0 Comments: