Hujan abu mewarnai langit Danau Bulan Sabit, sama kelabunya dengan hati Lin Wei saat itu. Di tangannya tergenggam erat jepit rambut perak berbentuk kupu-kupu, satu-satunya peninggalan dari Chen Yi, cinta pertamanya, belahan jiwanya, dan pengkhianatnya. Lima tahun telah berlalu sejak hari itu, hari dimana Chen Yi seharusnya menunggunya di dermaga danau ini, hari dimana mereka berjanji untuk meninggalkan kota yang penuh dusta dan ambisi ini. Lima tahun sejak janji itu dikhianati demi kekayaan dan nama besar yang ditawarkan Keluarga Zhang.
Lin Wei menatap pantulan dirinya di air danau yang bergelombang. Wajahnya tirus, matanya kehilangan kilau masa muda. Dulu, Chen Yi selalu memuji matanya, menyebutnya "bintang-bintang yang terperangkap dalam lautan malam." Sekarang, yang terpancar hanyalah kesedihan yang mendalam.
"Chen Yi..." bisiknya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru angin. "Kenapa?"
Bayangan pepohonan di tepi danau menari-nari, seolah berbisik, 'Takdir...'.
Lin Wei ingat malam itu. Ia menunggunya hingga matahari terbit, hujan mengguyur tubuhnya hingga menggigil. Di kejauhan, ia melihat siluet perahu berlayar menjauhi dermaga, membawa Chen Yi dan mimpinya bersamanya. Ia mendengar desas-desus tentang pernikahan Chen Yi dengan putri Keluarga Zhang, tentang bagaimana ia akan mewarisi kekayaan dan kekuasaan yang tak terbayangkan.
Ia mencoba membencinya, sungguh. Namun, semakin ia berusaha, semakin kuat bayangannya menempel dalam hatinya. Ia mencintai Chen Yi dengan segenap jiwa raganya, dan pengkhianatannya telah merenggut sebagian dari dirinya.
Kini, Lin Wei bukan lagi gadis desa yang lugu. Ia telah menjelma menjadi seorang wanita karir yang sukses, dingin dan kalkulatif. Ia telah membangun kerajaannya sendiri, sebuah jaringan bisnis yang kuat dan tersembunyi. Ia telah mencapai puncak, namun hatinya tetap kosong, diisi oleh hantu masa lalu.
Di tangannya, jepit rambut perak itu terasa dingin. Ia ingat bagaimana Chen Yi memberikannya hadiah itu saat ulang tahunnya yang ke-17. Ia ingat ciuman pertama mereka di bawah pohon sakura yang mekar sempurna. Ia ingat semua janji yang diucapkannya, janji yang kini hanyalah abu di lidahnya.
Ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia tidak menoleh. Ia tahu siapa yang datang.
"Lin Wei..." suara Chen Yi terdengar ragu. Ia tampak lebih tua, lebih lelah, namun matanya masih sama, mata yang pernah membuatnya jatuh cinta begitu dalam.
"Chen Yi," jawab Lin Wei dingin, tanpa ekspresi.
"Aku... aku tahu aku telah menyakitimu. Aku menyesal, sungguh," ucap Chen Yi, suaranya bergetar.
Lin Wei tersenyum sinis. "Penyesalan? Apa itu bisa mengembalikan waktu? Bisakah itu menghapus luka yang kau torehkan?"
Chen Yi terdiam. Ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk memperbaiki kesalahannya. Ia tahu ia telah kehilangan segalanya, termasuk cinta Lin Wei.
"Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan," lanjut Chen Yi lirih. "Tapi... bisakah kau memberiku kesempatan untuk menjelaskan?"
Lin Wei menatapnya tajam. "Penjelasanmu tidak lagi berarti bagiku. Kau telah membuat pilihanmu, Chen Yi. Dan sekarang, kau harus menanggung konsekuensinya."
Ia mengangkat jepit rambut perak itu dan melemparkannya ke danau. Jepit rambut itu tenggelam, meninggalkan riak kecil di permukaan air.
"Kau mungkin berpikir kau telah lolos," bisik Lin Wei. "Kau mungkin berpikir dengan kekayaan dan kekuasaanmu, kau kebal terhadap hukum karma. Tapi kau salah. Bayangan-bayangan itu selalu mengawasi."
Chen Yi menatapnya dengan tatapan penuh ketakutan. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa ia tidak akan pernah benar-benar lolos dari masa lalunya.
Beberapa bulan kemudian, berita mengejutkan mengguncang kota. Keluarga Zhang bangkrut, hancur lebur karena serangkaian keputusan bisnis yang buruk dan skandal yang terungkap secara tiba-tiba. Chen Yi kehilangan segalanya, termasuk istrinya. Ia ditinggalkan sendirian, tanpa uang, tanpa nama, tanpa apa pun.
Lin Wei tidak pernah secara langsung terlibat dalam kehancuran Chen Yi. Ia hanya menanam benih, membiarkan takdir melakukan sisanya. Ia hanya membiarkan bayangan masa lalu menuntut keadilan.
Saat ia berdiri di tepi danau, menyaksikan langit abu-abu yang sama lima tahun lalu, ia merasakan sedikit kepuasan. Namun, kebahagiaan itu terasa hambar, seperti debu di lidah.
Cinta yang terbakar, dendam yang terbalaskan, lalu ke mana hatiku akan berlabuh?
You Might Also Like: 52 Inspirasi Produk Skincare Lokal
0 Comments: