Di antara kabut sutra pagi yang melingkari Gunung Abadi, tersembunyi Paviliun Bulan Purnama. Di sanalah, dalam mimpi yang lebih nyata dari kenyataan, aku bertemu denganmu.
Wajahmu, selembut kelopak sakura yang baru mekar, terukir di hatiku seperti lukisan tinta di atas kertas washi. Suaramu, serentak desir angin yang melewati ladang bambu, menghantui malam-malamku. Kita bertemu di dimensi yang terlupakan, di mana waktu hanyalah debu yang menempel pada sayap kupu-kupu.
Cinta kita, sungguh... lebih rapuh daripada embun pagi yang berkilauan di atas jaring laba-laba. Setiap sentuhan adalah keajaiban, setiap tatapan adalah janji yang tak terucap. Kita menari di bawah rembulan yang pucat, bayangan kita berpadu dalam harmoni yang memilukan.
Namun, seperti semua mimpi indah, kisah kita ditakdirkan untuk berakhir.
Aku ingat lukisan kuno yang tergantung di dinding Paviliun Bulan Purnama. Seorang wanita dengan mata yang sama seperti matamu, berdiri di bawah langit yang menangis darah. Air mata merah mengalir dari langit, menodai gaun sutranya. Aku bertanya-tanya, siapa dia? Mengapa langit menangis?
Suatu malam, di bawah naungan pohon plum yang sedang berbunga, kau menatapku dengan tatapan yang menyayat hati.
"Kau tahu," bisikmu, "lukisan itu... adalah cermin."
Kau menjelaskan semuanya. Paviliun Bulan Purnama bukanlah tempat pertemuan, melainkan penjara. Kita bukanlah kekasih, melainkan jiwa-jiwa yang terperangkap dalam lingkaran waktu yang abadi, dihukum untuk mengulangi kisah cinta yang sama berulang-ulang. Dan langit yang menangis darah? Itu adalah air mata kita, air mata para kekasih yang tak pernah bisa bersama.
Kenyataan menghantamku seperti ombak besar. Mimpi indah itu hancur berkeping-keping, meninggalkan luka yang lebih dalam dari jurang tergelap. Semua keindahan, semua keajaiban, hanyalah ilusi yang dirancang untuk menyiksa kita.
Kau menghilang bersama fajar, meninggalkan aku di paviliun yang sunyi, hanya ditemani lukisan yang kini terasa seperti kutukan.
Sekarang aku mengerti. Cintaku padamu bukanlah kebetulan. Itu adalah takdir, takdir yang tragis.
Apakah ini nyata? Apakah ini hanya mimpi? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku akan terus mencari jejakmu di antara kabut pagi, di antara bayangan bulan, di antara...
"...di antara bisikan angin yang membawa namamu, seperti dulu, dan...selamanya..."
You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama_25
0 Comments: